Pisau kuning keemasan itu melebur menjadi sinar kembali. Tertarik pulang pada jalan kedatangannya, lurus menuju kembali lubang di triplek kamar. Perlahan-lahan. Dengan samar aku memperhatikannya hingga tidak ada lagi sinar tersisa.
Yah, aku masih berbaring. Memegang mata kiriku, tidak ada darah. Mata kananku, kering tak ada air mata. Kini aku sangat berkeinginan untuk bangkit dan pergi. Entah kemana. Belum ada lima menit sinar itu pergi, aku merindunya.
Ada yang aku sesalkan tadi, mengapa tak kugunakan pisau kuning keemasan itu untuk menusuk jantungku. Menghentikan detakan yang merusak sepiku. Menghentikan detakan yang tidak beraturan, mengganggu kesunyianku.
Mungkin kematianku akan menjadi berita terhebat seantero jagad raya, wanita muda yang membunuh dirinya dengan pisau yang terbuat dari sinar.
Mungkin saja, darahku berwarna kuning keemasan. Jasadku akan bercahaya. Dan bintang-bintang malam mengajakku menjadi temannya. Atau lampu-lampu jalan, kunang-kunang, iri padaku yang lebih bercahaya.
Hahaha, ah...aku tak tidur. Tapi aku nekat bermimpi. Kematianku hanya akan menjadi seremoni lepasnya ruh dari raga. Tidak ada cahaya. Tidak ada sinar.
Dari sepi kembali sepi.
Aku tahu sekarang kemana aku harus pergi.
Di sebelah kamarku, adalah dapur tempat ibu menghabiskan hampir separuh waktunya di sana. Pernah aku melihat sebuah pisau. Meski berkarat, tak mengapa, toh apa bedanya jantung dengan daging sapi yang masih bisa terpotong kecil-kecil.
Pisau berkarat?
Aku lega tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku sudah turun dari ranjang, di ambang pintu aku masih saja berharap, sinar itu datang kembali dan menjelma pisau kuning keemasan.
Tapi itu tak mungkin. Di luar sudah sangat gelap. Dan hanya ada pisau berkarat. Untuk mengembalikan sepi pada sepi. Gelap untuk gelap. Damai ke damai yang selalu kunantikan.
Saat pisau berkarat itu menembus jantungku, maka cerita ini tamat. Tanpa sinar.
No comments:
Post a Comment